Benih Digital Authoritarianism: Memberangus Kebebasan Pers Melalui Revisi RUU Penyiaran
Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi telah lama diakui sebagai salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang fundamental. Konstitusi sebagai fondasi hukum di Indonesia, secara eksplisit menjamin kebebasan pers bagi setiap warga negara yang disebutkan dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945, bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”. Kebebasan terkait menyampaikan, mencari dan menerima pendapat dengan tidak memandang batas-batas apapun juga telah dijamin dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di era digital, peran media semakin krusial dalam memberikan informasi, mengawasi kekuasaan, dan membentuk opini publik. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, tantangan baru muncul dalam menjaga kebebasan pers. Salah satu tantangan tersebut adalah regulasi yang terlalu ketat dan berpotensi membatasi ruang gerak media, terutama dalam konteks revisi undang-undang penyiaran.
Revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Penyiaran yang tengah berlangsung di Indonesia telah memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan, termasuk jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil. Perubahan-perubahan dalam Revisi Undang-Undang (RUU) ini dikhawatirkan akan memberikan ruang yang lebih luas bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap konten media, membatasi kritik, dan pada akhirnya menghambat kebebasan pers. Padahal, Pasal 2 UU Penyiaran mendefinisikan kemerdekaan pers atau kebebasan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Konsep digital authoritarianism semakin relevan dalam konteks ini. Digital authoritarianism merujuk pada praktik pemerintah dalam menggunakan teknologi digital untuk mengontrol informasi, membatasi kebebasan berekspresi, dan memperkuat kekuasaan. Revisi RUU Penyiaran yang berpotensi membatasi kebebasan pers dapat dipandang sebagai salah satu bentuk digital authoritarianism yang sedang tumbuh di Indonesia.
Potensi Tumpang Tindih dan Penghilangan Kewenangan Dewan Pers
. Pasal 8 Ayat (1) huruf q dan Pasal 51E RUU Penyiaran menjadi polemik di berbagai kalangan, khususnya jurnalis. Pasalnya, penyelesaian sengketa jurnalistik yang sebelumnya menjadi kewenangan dari Dewan Pers dialihkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini menyebabkan hilangnya Kode Etik Jurnalistik yang menjadi acuan dalam penilaian produk siaran jurnalistik dan digantikan dengan P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) dan SIS (Standar Isi Siaran) dalam menilai produk siaran. Lebih dari itu, independensi jurnalistik menjadi pertanyaan besar, dikarenakan KPI adalah lembaga bentukan negara yang komisionernya ditunjuk langsung oleh presiden dan DPR, lain halnya dengan Dewan Pers yang merupakan bentukan dari komunitas pers sebagai usaha dalam menjaga independensinya. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi celah bagi negara dalam mengintervensi produk siaran jurnalistik.
Intervensi terhadap Content Creator
. Usaha dalam meregulasi para content creator tak luput dari revisi UU Penyiaran. Padahal, hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur platform berbasis user generated content (UGC). Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat juga mengatur konten-konten yang didistribusikan melalui platform UGC.
Dalam Pasal. 34F Ayat (2) huruf e Revisi UU Penyiaran menyatakan bahwa salah satu kewajiban Lembaga Penyiaran, yaitu “mematuhi perjanjian kerja sama penyelenggaraan Platform Digital Penyiaran dan/atau platform teknologi Penyiaran lainnya”. Penyelenggara siaran yang dimaksud disini, seperti TikTok, Youtube dan media siaran lainnya yang berbasis UGC. Hal ini dianggap tidak masuk akal, dikarenakan adanya perbedaan logika teknologi antara platform digital dan lembaga penyiaran konvensional. Lebih dari itu, adanya regulasi ini dikhawatirkan akan menjadi alat dalam membatasi kebebasan berekspresi publik.
Limitasi Jurnalisme Investigasi
. Pasal 50B Ayat (2) huruf c tampaknya menjadi poin klimaks dalam revisi UU penyiaran. Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi adalah hal yang sangat tidak masuk akal. Pasalnya, hal ini dapat mengancam kebebasan pers dan bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
Peran jurnalistik investigasi sebagai whistleblower dan kanal yang paling efektif seharusnya mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Dalam konteks ini, tidak sedikit kasus yang terungkap setelah di investigasi oleh para jurnalis. Lebih dari itu, konten jurnalistik investigasi juga dapat membantu para penegak hukum dalam mengungkap fakta dan informasi yang dibutuhkan.
Lahirnya Haatzaai Artikelen
. Pasal 50B Ayat (2) huruf k RUU Penyiaran menyatakan bahwa “Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.”. Munculnya Haatzaai Artikelen dalam Revisi UU Penyiaran sangat dikecam oleh berbagai pihak, dikarenakan dapat mengembalikan esensi dari pemerintahan zaman kolonialisme. Haatzaai Artikelen merujuk pada ancaman bagi siapa saja yang menyatakan perasaan, kebencian, penghinaan dan permusuhan kepada pemerintah atau golongan-golongan tertentu dalam negara. Dalam konteks ini, Pasal 50B Ayat (2) huruf k mengandung perspektif subjektif dan multitafsir, terutama terkait pencemaran nama baik dan penghinaan. Lebih dari itu, hal ini ditakutkan akan menjadi alat dalam membatasi kebebasan berpendapat di ranah publik.
Kesimpulan
Revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah berlangsung di Indonesia berpotensi menjadi bentuk otoritarianisme digital yang mengancam kebebasan pers. Revisi ini memberikan ruang lebih besar bagi intervensi pemerintah terhadap konten media, dengan mengalihkan kewenangan penyelesaian sengketa jurnalistik dari Dewan Pers ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebuah lembaga yang ditunjuk pemerintah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap independensi media.
Selain itu, regulasi yang mencoba membatasi kebebasan content creator dan jurnalistik investigasi juga dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Ketentuan yang melarang konten siaran investigasi eksklusif serta memasukkan Haatzaai Artikelen dalam revisi UU Penyiaran menjadi ancaman langsung terhadap kebebasan berekspresi dan peran media dalam mengawasi kekuasaan serta memberikan informasi kepada publik.
Secara keseluruhan, revisi ini berpotensi membatasi ruang gerak media dan ekspresi publik, berlawanan dengan semangat Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 19 Deklarasi Universal Hak asasi manusia yang menjamin hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi.
Daftar Pustaka
Aloysius Budi Kurniawan, 2024. Mengapa Publik Ramai-ramai Menolak RUU Penyiaran?. Available at: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/05/27/mengapa-penolakan-terhadap-ruu-penyiaran-meluas-apa-saja-sisi-kontroversi-ruu-ini [Accessed 21 Sepetember 2024].
Bernadetha Aurelia Oktavira, 2024. Landasan Kebebasan Pers di Indonesia. Available at: https://www.hukumonline.com/klinik/a/landasan-kebebasan-pers-di-indonesia-lt62873e4becd04/ [Accessed 21 Sepetember 2024].
Erol Yayboke and Samuel Brannen, 2020. Promote and Build: A Strategic Approach to Digital Authoritarianism. Available at: https://www.csis.org/analysis/promote-and-build-strategic-approach-digital-authoritarianism [Accessed 21 Sepetember 2024].
Erwina Rachmi Puspipertiwi and Ahmad Naufal Dzulfaroh, 2024. Melihat 7 Pasal dalam RUU Penyiaran Yang Tuai Kritikan. Available at: https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/16/190000465/melihat-7-pasal-dalam-ruu-penyiaran-yang-tuai-kritikan-?page=all [Accessed 22 September 2024].
Indonesia Corruption Watch, 2024. RUU Penyiaran Hambat Pemberantasan Korupsi dan Ancam Demokrasi, DPR dan Presiden Harus Hentikan Pembahasannya Segera!. Available at: https://antikorupsi.org/id/ruu-penyiaran-hambat-pemberantasan-korupsi-dan-ancam-demokrasi-dpr-dan-presiden-harus-hentikan [Accessed 21 Sepetember 2024].
Moh. Dani Pratama Huzaini, 2024. Haatzai Artikelen, Delik Mati yang Terus Coba Dihidupkan. Available at: https://www.hukumonline.com/berita/a/i-haatzai-artikelen-i--delik-mati-yang-terus-coba-dihidupkan-lt5e93f500770f3/ [Accessed 22 September 2024].
Dibuat oleh: M. Zidny Ilman Nafian & Firas Haifha Qolbi