FENOMENA CYBERBULLYING ANAK: PERLINDUNGAN ANAK DI TENGAH MEDIA SOSIAL YANG TAK TERBATAS

FKPH FH UII
6 min readOct 20, 2024

--

PENDAHULUAN

Dewasa ini kemajuan era digital membuat interaksi sosial kini tidak hanya memperluas peluang komunikasi global dan akses informasi, tetapi juga menghadirkan tantangan seperti perundungan siber, disinformation, dan kecanduan media sosial. Hal ini menggarisbawahi kebutuhan akan pengelolaan etis dan adaptasi yang tepat untuk memaksimalkan manfaat sembari memitigasi dampak negatif yang semakin nyata dalam dunia digital. Platform media sosial, game online, dan aplikasi pesan instan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Namun, di balik kemudahan dan kenyaman yang ditawarkan oleh dunia maya, terdapat sisi gelap yang mengecam, yaitu cyberbullying. Cyberbullying dapat didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dilakukan secara berulang-ulang melalui teknologi digital dengan tujuan menyakiti, mengintimidasi, atau mempermalukan seseorang. Tindakan ini dapat berupa penyebaran rumor jahat, ancaman, penghinaan, pelecehan seksual, atau manipulasi identitas. Korban cyberbullying seringkali mengalami dampak psikologis yang serius, seperti depresi, kecemasan, gangguan tidur, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.

Kasus terbaru tentang perundungan terhadap anak di bawah umur mencuat dengan adanya konflik antara LM dan ibunya, yang menjadi viral di media sosial. Konflik keluarga ini memicu perhatian besar dari publik. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah respons negatif yang diterima LM dari netizen. Banyak orang yang tidak hanya memberikan komentar negatif, tetapi juga memparodikan video viral tersebut dengan menciptakan konten mengejek dan merendahkan, oleh karena itu tanpa mempedulikan akibat dari komentar negatif yang dilontarkan oleh netizen kepada LM. Fenomena ini menjadi contoh nyata dari bentuk perundungan daring (cyberbullying) terhadap anak di bawah umur, dengan LM sebagai korban.

ISI

LM, yang dikenal sebagai anak seorang public figure, terlibat konflik terbuka dengan ibunya. Perselisihan ini kemudian menjadi konsumsi publik setelah videonya tersebar di media sosial. Alih-alih mendapatkan empati atau dukungan, LM justru menjadi target serangan dari para pengguna media sosial. Banyak yang berkomentar negatif tentang dirinya, tidak hanya terkait perilakunya tetapi juga soal penampilan dan kehidupan pribadinya. Bahkan, beberapa orang memparodikan video tersebut, dengan tujuan untuk mengejek atau merendahkan LM. Sebagai anak di bawah umur, LM seharusnya dilindungi dari segala bentuk kekerasan psikologis, termasuk perundungan daring. Namun, dalam realitanya, banyak yang justru memanfaatkan situasi ini untuk mempermalukan LM, tanpa memikirkan dampak psikologis yang mungkin timbul.

Perundungan yang dialami LM termasuk dalam kategori cyberbullying, yaitu tindakan perundungan yang terjadi di ruang digital, LM mendapatkan komentar negatif, direndahkan melalui video parodi dan lainnya. Anak-anak seperti LM yang sedang dalam fase perkembangan emosional dan psikologis sangat rentan mengalami tekanan, stres, hingga depresi akibat serangan verbal yang terus-menerus. Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana media sosial, dengan akses yang begitu luas, dapat memperbesar skala perundungan. Sebelum adanya akses sosial media seperti sekarang, perundungan terbatas pada ruang pribadi. Namun saat ini. setelah adanya akses ke sosial media yang cukup mudah perundungan bisa dengan cepat menyebar ke jutaan orang melalui internet, membuat korban sulit untuk melarikan diri dari dampaknya.

Untuk memberikan perlindungan terhadap korban cyberbullying anak di bawahumur, Indonesia telah memiliki undang-undang yang melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan psikologis seperti perundungan daring. Beberapa dasar hukum yang relevan dalam kasus ini meliputi:

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Dalam undang-undang ini, anak-anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal dan psikologis yang dapat mengganggu perkembangan mereka. Pasal 76C UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Ancaman hukuman bagi pelanggaran ini juga diatur dalam Pasal 80, di mana pelaku kekerasan terhadap anak bisa dipidana.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 atas perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Perundungan yang dilakukan melalui media sosial dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap UU ITE. Pasal 27A UU ITE menyatakan bahwa Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam kasus LM, pengguna media sosial yang membuat konten merendahkan atau menyebarkan penghinaan dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan undang-undang ini.

Terdapat lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk turut andil dalam. melindungi dan mencegah terjadinya cyberbullying, diantaranya adalah:

  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan institusi yang berperan dalam melindungi saksi dan korban, memberikan harapan baru bagi masyarakat yang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau tindak kejahatan. LPSK memainkan peran penting sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan bagi saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, berbagai aspek hukum terkait anak mulai terbentuk, termasuk dengan dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam Pasal 76 undang-undang tersebut, salah satu tugas utama KPAI adalah memberikan perlindungan bagi anak, Termasuk mencegah. melindungi anak dari kejahatan sosial media.

  • Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) adalah lembaga negara yang bertanggung jawab membantu Presiden dalam merumuskan dan mengkoordinasikan kebijakan serta menjalankan tugas terkait pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat kompleksitas isu perempuan dan anak, KPP-PA diberikan mandat dan tanggung jawab untuk menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan anak.

Mencegah cyberbullying terhadap anak di bawah umur memerlukan langkah-langkah tegas yang melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, platform media sosial, dan pemerintah. Orang tua perlu memastikan anak-anak memahami pentingnya menjaga privasi online dan tidak berbagi informasi pribadi dengan orang asing. Mereka juga harus memantau interaksi digital anak, serta menggunakan pengaturan keamanan di media sosial untuk membatasi akses orang dewasa yang tidak dikenal.

Platform online harus lebih proaktif dalam mendeteksi dan menangani perilaku tidak pantas dengan memperkuat kebijakan perlindungan anak dan menyediakan alat pelaporan yang mudah diakses. Pemerintah juga berperan dengan memperkuat undang-undang perlindungan anak di dunia maya, serta menindak tegas pelaku cyberbullying dewasa. Selain itu, kampanye kesadaran publik dapat membantu mengedukasi orang dewasa tentang dampak negatif cyberbullying dan menekankan pentingnya menciptakan lingkungan online yang aman bagi anak-anak.

Untuk mencegah cyberbullying juga dapat menerapkan langkah-langkah pencegahan agar seseorang tidak menjadi pelaku perundungan di media sosial, dengan cara membuat kampanye kesadaran tentang dampak perundungan pada kesejahteraan mental dan emosional korban dan mengoptimalkan fitur pemantauan dan pengawasan di platform media sosial untuk menghindari perilaku perundungan.

KESIMPULAN

Kasus perundungan yang dialami LM setelah perselisihannya dengan sang ibu menunjukkan betapa rentannya anak-anak terhadap kekerasan di ruang digital. Sebagai anak di bawah umur, LM seharusnya dilindungi dari segala bentuk kekerasan, termasuk perundungan daring yang dapat merusak kesehatan mental dan emosionalnya. Dasar hukum di Indonesia seperti UU Perlindungan Anak dan UU ITE sudah mengatur perlindungan tersebut, namun implementasi dan pengawasan dalam ruang digital masih perlu ditingkatkan.

Media sosial. yang seharusnya menjadi sarana komunikasi dan ekspresi dalam kasus ini justru menjadi alat untuk memfasilitasi perundungan terhadap seorang anak. Kasus ini harus menjadi perhatian bersama, baik bagi pengguna media sosial, platform, maupun pihak berwenang untuk memastikan bahwa anak-anak terlindungi dari kekerasan psikologis dan perundungan, serta mengedepankan etika berinternet yang baik.

SUMBER

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Perlindungan Anak dari Kekerasan Berbasis Media Elektronik dan Informasi.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 atas perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Jurnal:

Erly Pangestuti. (2017). Peran Lembaga Perlindungan Saksi. dan. Korban. Dalam Memberikan Perlindungan. Hukum Terhadap Saksi dan Korban, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulung Agung, Vol.3 No. 1.Diakses melalui: https://journal.unita.ac.id/index.php/yustitia/article/download/127/119

Risky Saputra (2013), Peranan Wewenang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Pengawasan Terhadap Korban Perdagangan Anak, Jurnal Universitas Bung Hatta, Vol.1 No.2, hlm 1–2. Diakses Melalui

https://ejurnal.bunghatta.ac.id/index.php/JFH/article/view/873

Lita Tyesta A.L.W., Amalia Diamantina, Dede Fitriani Choirunisa (2016), Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Meningkatkan Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia (Studi Perbandingan Periodisasi Kabinet Tahun 2010–2014 dengan Kabinet Tahun 2015–2019), Diponegoro Law Review, Vol.5 No. 2 Diakses Melalui: https://www.neliti.com/id/publications/18959/pelaksanaan-tugas-dan-wewenang-kementerian-pemberdayaan-perempuan-dan-perlindung

Livingstone, S. & Haddon, L., 2009. EU Kids Online: Final Report. London: The London School of Economics and Political Science, Hlm. 15. Diakses melalui: https://eprints.lse.ac.uk/24372/

Internet:

Dini Yulia (2022), Kemenkes, Kecakapan Digital Orangtua Berperan dalam Melindungi Anak dan Remaja dari Cyberbullying,Diakses melalui: https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1829/kecakapan-digital-orangtua-berperan-dalam-melindungi-anak-dan-remaja-dari-cyberbullying

HW, 2024. Kasus Dugaan Pencabulan dan Aborsi LM, Polres Jaksel Bakal Panggil Vadel Badjideh. Diakses Melalui: https://m.radarnonstop.co/read/51459/Kasus-Dugaan-Pencabulan-dan-Aborsi-LM-Polres-Jaksel-Bakal-Panggil-Vadel-Badjideh

Tim Kompasiana (2023), Cyberbullying di Indonesia:Siapa yang Bertanggung Jawab? untuk Melindungi Anak- anak?, Diakses melalui:https://www.kompasiana.com/najahmuchsinsanin/64f4297f08a8b56b2d47ace2/cyberbullying-di-indonesia-siapa-bertanggung-jawab-untuk-melindungi-anak-anak

UNICEF, 2020. Cyberbullying : apa itu dan bagaimana menghentikannya. Diakses Melalui: https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/apa-itu-cyberbullying

/cyberbullying-di-indonesia-siapa-bertanggung-jawab-untuk-melindungi-anak-anak

Dibuat oleh: Firdaus Fandi Adina & Firdha Fathimah Susanto

--

--

FKPH FH UII
FKPH FH UII

Written by FKPH FH UII

Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII | BERBAKTI DENGAN JASA DAN KARYA 🗓️

No responses yet