Kepatuhan Environmental, Social, and Governance di Sektor Industri: Tantangan Hukum dalam Implementasi dan Penegakan Kebijakan Berkelanjutan

FKPH FH UII
5 min readFeb 12, 2025

--

Permasalahan Hukum

  1. Apakah PT DBP Memiliki Kewajiban untuk Memberdayakan Masyarakat Setempat?
  2. Apakah Program-program yang Ditawarkan oleh PT DBP Telah Memenuhi Kewajibannya dalam Memberdayakan Masyarakat Setempat?

Legal Opinion

  1. PT DBP memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat setempat

Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2020, Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat desa juga mencakup mengenai bagaimana cara PT dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber daya masyarakat setempat. Pemanfaatan Hutan Lindung di Provinsi Sumatera Barat diatur pada Pasal 1 angka 22 Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 11 Tahun 2017, menjelaskan bahwa pemanfaatan hutan ditujukan untuk memperoleh manfaat sosial secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Harus dapat dipastikan bahwa manfaat sosial diperoleh secara maksimal tanpa mengorbankan fungsi utama hutan sebagai pelindung ekosistem dan sumber daya alam, ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara pemanfaatan hutan dan pelestarian fungsinya.

PT DBP merupakan Perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam, memiliki kewajiban yang diatur pada Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, mengatur Perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usaha dibidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 1 ayat (3) menjelaskan, bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan

PT DBP memiliki kewajiban yang tertuang pada Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). TJSL, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3), merupakan komitmen perusahaan untuk berkontribusi secara sosial dan lingkungan dalam kegiatan usahanya. Tujuan dari TJSL ini dijelaskan pada Pedoman Pelaksanaan TJSL Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, yang diterapkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. TJSL bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Kegiatan dalam memenuhi kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

PT DBP memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak masyarakat sekitar, yang diatur pada Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan” poin-poin tersebut merupakan hak prosedural yang dimiliki masyarakat yang harus dipenuhi atau merupakan kewajiban PT DBP.

Diatur dalam doktrin hukum tentang “Benefit-sharing” yang menyatakan bahwa perusahaan wajib berbagi manfaat dengan masyarakat lokal.1 Berdasarkan Pasal 65 UU No. 32 Tahun 2009, pemberdayaan masyarakat lokal dianggap sebagai kewajiban moral dan sosial perusahaan, terutama untuk melindungi hak-hak masyarakat adat yang rentan terpinggirkan dalam proyek besar. PT DBP memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat setempat sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan kepatuhan terhadap regulasi nasional. Kewajiban ini mencakup pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, penyediaan program pelatihan, serta program lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

2. Program yang Ditawarkan oleh PT DBP Belum Memenuhi Kewajiban

Pemberdayaan yang Sesuai dengan Kebutuhan Masyarakat Setempat Sebagaimana telah dijelaskan, masyarakat setempat, termasuk Suku Anak Dalam, yang menyatakan ketidakpuasan terhadap program-program yang ditawarkan oleh PT DBP. Ketidakpuasan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, PT DBP dianggap kurang transparan dalam menyampaikan informasi mengenai dampak proyek dan manfaat yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Kedua, terdapat pelanggaran hak dalam proses pengambilan lahan untuk proyek PLTA, di mana sebagian tanah milik masyarakat diambil tanpa adanya ganti rugi yang adil. Selain itu, program yang ditawarkan oleh PT DBP tidak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat setempat. Masyarakat juga merasa kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga suara mereka tidak didengar. Dengan kondisi ini, dapat dipertanyakan apakah program-program yang ditawarkan PT DBP telah memenuhi kewajiban hukum dan tanggung jawab sosial dalam memberdayakan masyarakat setempat secara efektif.

PT DBP memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak masyarakat sekitar, sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang diatur pada Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009. PT DBP melanggar atau belum memenuhi hak prosedural yang dimiliki masyarakat. Pertama, hak akses informasi, PT DBP kurang transparan dalam menyampaikan informasi mengenai dampak proyek dan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Kedua, hak akses partisipasi, PT DBP tidak cukup melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, hak akses keadilan, PT DBP tidak memberikan ganti rugi yang adil pada sebagian tanah milik masyarakat yang diambil untuk pembangunan PLTA.

Dalam Doktrin Hukum Lingkungan, dikenal adanya Teori Aarhus Convention, yang berisi hak akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan. Aarhus Convention adalah sebuah perjanjian internasional yang disahkan di Aarhus, Denmark, pada tahun 1998, dengan tujuan utama untuk memperkuat hak-hak masyarakat dalam mengakses informasi lingkungan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan, dan mengakses keadilan terkait masalah lingkungan. Aarhus Convention, pernah diterapkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIX/2021.

Program yang diagendakan oleh PT DBP tidak berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena masyarakat tidak diberikan akses informasi yang transparan dan memadai. Dari sisi lingkungan hidup, masyarakat tidak cukup dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, bahkan tidak diberikan informasi yang transparan mengenai dampak proyek dari pengembangan proyek PLTA, tentu ini melanggar prinsip pengambilan keputusan menurut hukum lingkungan.

3. Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa PT DBP memiliki kewajiban hukum dan sosial untuk memberdayakan masyarakat setempat, termasuk Suku Anak Dalam, dalam pengembangan proyek PLTA. PT DBP wajib memastikan program yang mereka tawarkan memenuhi kebutuhan nyata masyarakat setempat, dengan dasar hukum yang kuat dari Permendes No. 21 Tahun 2020, Pergub Sumatera Barat No. 11 Tahun 2017, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PP No. 47 Tahun 2012, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa PT DBP belum sepenuhnya menjalankan kewajiban ini. Kurangnya transparansi informasi, minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, serta pelanggaran hak terkait kompensasi lahan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap undang-undang yang berlaku. Ketidakmampuan PT DBP memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam memberdayakan masyarakat setempat semakin memperlihatkan kurangnya perhatian pihak PT DBP terhadap hak-hak masyarakat adat yang terdampak.

Berdasarkan hal ini, kami memberikan rekomendasi terhadap pihak PT DBP untuk segera mengevaluasi kebijakan dan pendekatan, menilai kembali pembayaran ganti kerugian terkait ganti rugi tanah, membuat forum diskusi dengan masyarakat setempat, menyampaikan laporan secara berkala terkait output dari program yang telah dijalankan, agar dapat memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat setempat secara efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan pemberdayaan yang seharusnya dijunjung tinggi.

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan Perseroan Terbatas.

Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pedoman Umum

Pembangunan Desa Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Tata Cara

Kemitraan Pemanfaatan Hutan Di Wilayah Tertentu Pada Kesatuan

Pengelolaan Hutan Lindung Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Di

Sumatera Barat.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIX/2021.

Internet

Tim Hukum Online. (2001, Oktober, 29). Konsep Benefit Sharing Belum Jelas,

Anggota WIPO Kebingungan. Diakses pada 5 November 2024, melalui

https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt63403ae4ba557/putusan-

mahkamah-konstitusi-nomor-37-puu-xix-2021/

Disusun oleh: Ilham Alhafif, Gavran Ziksan & Favian Faruq Abqori

--

--

FKPH FH UII
FKPH FH UII

Written by FKPH FH UII

Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII | BERBAKTI DENGAN JASA DAN KARYA 🗓️

No responses yet