Kilas Balik 78 Tahun Disahkannya Konstitusi: Kepatuhan Terhadap Konstitusi Di Era Presiden Joko Widodo

FKPH FH UII
6 min readFeb 27, 2024

--

Abstrak

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi tertulis Indonesia hendaknya menjadi aturan main paling dasar yang semestinya dipatuhi dalam praktik penyelenggaraan negara. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh J. J. Rousseau, konstitusi merupakan suatu dokumen kontrak sosial yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama dalam wadah negara. Namun, persoalan yang terjadi adalah rendahnya tingkat kepatuhan para lembaga negara, khususnya kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang substansinya merupakan perpanjangan tangan dari tafsir konstitusi. Rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana seharusnya amanat konstitusi dilaksanakan dan bagaimana realita implementasi kepatuhan konstitusi oleh masyarakat, termasuk kepatuhan terhadap putusan MK. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, untuk mengadakan penelusuran terhadap tingkat kepatuhan lembaga negara terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci: kepatuhan, konstitusi, lembaga negara.

A. Latar Belakang

Konstitusi termasuk dalam kesepakatan dasar dalam pembentukan organisasi yang mungkin pada dasarnya tidak tertulis tetapi kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis atau format khusus lainnya seiring perkembangan zaman. Konstitusi merupakan hukum dasar tertinggi dalam suatu negara yang dibentuk dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan. Dalam konstitusi, terdapat istilah yang disebut konstitusionalisme, yaitu paham dimana kekuasaan harus dibatasi agar negara dapat berjalan sebagaimana tujuan pembentukannya.

Menurut K. C. Wheare, konstitusi merupakan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Adapun menurut J. J. Rousseau, konstitusi yang tertulis merupakan suatu dokumen yang disebutnya kontrak sosial, hasil kesepakatan bersama masyarakat dalam membentuk kehidupan bersama dalam wadah negara. Sebagian besar negara di dunia telah memiliki konstitusi tertulis, termasuk Indonesia yang memiliki Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945).

Pada 18 Agustus 1945, para pendiri negara melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis Indonesia. Konstitusi suatu negara pada hakikatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat tentang pembentukan, pembagian wewenang, dan cara kerja lembaga-lembaga negara serta perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang semua itu harus dipatuhi oleh para warga negara. Namun, realita yang terjadi adalah terdapat berbagai praktik yang masih menunjukkan ketidakpatuhan terhadap norma-norma konstitusi, khususnya oleh para lembaga penyelenggara negara.

Ketidakpatuhan merujuk pada suatu tindakan di mana individu, kelompok, maupun pihak yang berwenang mengabaikan ketentuan yang termaktub dalam konstitusi. Beberapa contoh dari tindakannya, yaitu pembatasan kebebasan berpendapat yang dapat berupa penindasan terhadap opini yang berlawanan dengan pemerintah, praktik pemusatan kekuasaan di satu tangan yang melanggar prinsip pemisahan kekuasaan, diskriminasi terhadap kelompok tertentu khususnya kelompok rentan dan termarjinalkan, dan lain sebagainya.

Tingkat kepatuhan terhadap konstitusi juga dapat dilihat melalui tindak lanjut pembentuk undang-undang dalam melaksanakan hasil putusan pengujian undang-undang baik secara materiil maupun formil yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan data dari hasil penelitian kerja sama antara MK dengan Fakultas Hukum Trisakti tahun 2018 menunjukkan, kepatuhan terhadap Putusan Peraturan Perundang-Undangan (PUU) MK periode 2013–2018 sebanyak 54,12 % sedangkan ketidakpatuhannya sebanyak 22,01 %.

Seperti yang beberapa waktu lalu terjadi adalah mengenai Putusan MK №91/PUU-XVIII/2020 yang diabaikan oleh lembaga eksekutif (Presiden) dengan terbitnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Padahal dalam putusan tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan ditunda keberlakuannya selama 2 tahun untuk masa perbaikan. Dengan diterbitkannya Perppu, mengindikasikan bahwa putusan MK tidak dilaksanakan.

Kurangnya kepatuhan dari para pembentuk undang-undang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Padahal menurut K. C. Wheare, interpretasi hakim konstitusi merupakan salah satu cara perubahan konstitusi secara informal sehingga para adresat seharusnya melaksanakan putusan MK. Dengan demikian, putusan-putusan MK atas pengujian undang-undang merupakan konstitusi baru yang memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga ketidakpatuhan terhadap putusan MK termasuk dalam bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.

A. Rumusan Masalah

Makalah ini akan menelaah dan mengkaji lebih lanjut secara yuridis dan empiris mengenai bagaimana seharusnya amanat konstitusi dilaksanakan dan bagaimana realita implementasi kepatuhan konstitusi oleh lembaga negara terhadap putusan MK.

B. Metode Penelitian

Pembahasan yang diangkat dalam penelitian ini dibahas dan dianalisis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode penelitian yuridis normatif, yakni dengan mengkaji aspek hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Adapun metode penelitian yuridis empiris, yakni dengan mengkaji keadaan sebenarnya yang terjadi di masyarakat, yaitu mencari fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Berkenaan dengan hal tersebut, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dilihat dari sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yakni data yang diperoleh dan atau dikumpulkan oleh peneliti yang melakukan penelitian dari berbagai sumber sebelumnya. Data sekunder tersebut akan dikategorikan menjadi bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan terkait objek penelitian, serta bahan hukum sekunder yang akan memberikan penjelasan kepada bahan hukum primer, berupa buku referensi, jurnal ilmiah, dan pendapat para ahli hukum tata negara.

A. Pembahasan

Idealita dan Realita kepatuhan terhadap Konstitusi, Konstitusionalisme menurut Carl J.friedrich ialah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah, Esensi Konstitualisme terbagi menjadi 2 (dua) yang pertama yaitu ialah konsep negara hukum yang disebut rule of law yang menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik dan tidak sebaliknya, yang kedua ialah konsep hak hak sipil warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja.

Problematika menindaklanjuti putusan overruling MK, misal kedudukan KPK, Putusan MK №012–016–019/PUU-IV/2006, Putusan MK №19/PUU-V/2007, tindak lanjut atas putusan overruling MK terkait kedudukan KPK bisa menimbulkan ketidakpastian dan ketidaadilan, dari putusan MK (no. 6 dan 7) itu menunjukkan sikap sebagian hakim MK yang mengikuti irama kekuasaan pembentuk UU, Penegakan hukum adalah inti dari tugas konstitusional seorang presiden untuk memastikan bahwa hukum dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, Dalam beberapa situasi, koalisi pemerintahan justru kerap terfragmentasi untuk mendukung atau menolak suatu kebijakan nasional yang tidak tuntas dikomunikasikan secara politik di internal elit partai pendukung pemerintah sehingga konfigurasi yang dihasilkan kerap tidak memberi dukungan yang efektif pada penguatan sistem presidensial itu sendiri.

Pilkada serentak 2024, ada kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di 24 provinsi dan 247 Bupati/Walikota, total 271 daerah, untuk tahun 2022: ada 101 daerah dan tahun 2023 ada 171 daerah yang berakhir masa jabatan kepala daerahnya, Perimbangan MK dalam Putusan MK №15/PUU-XX/2022 :”harus tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur, jelas, dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten,berintegritas, seuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah” Problematika tindaklanjut Putusan MK, ada keragaman tindaklanjut pengaturan pasca putusan pengujian undang-undang oleh MK, misalnya merevisi undang-undang, membentuk undang-undang baru, mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perpu), surat edaran (misalnya, MA mengeluarkan SEMA, KPU mengeluarkan SE KPU), ada yang cukup dengan merevisi peraturan komisi pemilihan umum (PKPU), peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan lain-lain.

Munculnya keragaman tindaklanjuti putusan MK disebabkan beberapa hal yang pertama tidak adanya pengaturan yang pasti bentuk payung hukumnya dalam peraturan perundang-undangan, yang kedua keragaman dari lembaga adressat putusan yang juga mempunyai kewenangan membuat peraturan, menyebabkan lembaga tersebut mengatur sesuai kebutuhan dan kepentingannya, ketiga untuk menghindari kekosongan hukum dan kebutuhan mendesak lembaga yang bersangkutan, yang keempat tidak jarang pasca putusan lembaga adressat membutuhkan peraturan untuk operasionalnya, ketaatan dan ketidaktaatan hukum bersumber pada kesadaran hukum, sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kesadaran hukum dengan ketaatan dan ketidaktaatan hukum, maka dalam kesadaran hukum terdapat 2 macam kesadaran, yang pertama legal consciouness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan hukum yang disadari atau dipahami, kedua legal consciouness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud menentang hukum atau melanggar hukum.

A. Kesimpulan

Ketaatan atau kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah kesadaran terhadap hukum sebagai rule of the game, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, namun sejatinya, jenis ketaatan paling mendasar sehingga seseorang menaati atau tidak menaati hukum adalah karena adanya kepentingan, dalam pengertian ini, kebijakan hukum (legal policy) MK dalam putusan tidak sesuai dengan kepentingan politik aktor-aktor pembentuk UU atau karena, secara pragmatis, adressat putusan tidak memeroleh benefit atau memperoleh kesulitan dari putusan MK, akhirnya yang dipilih ialah jalan ketidakpatuhan.

Tingkat kepatuhan adressat putusan, terdapat 3 kategori tingkat kepatuhan pelaksanaan putusan PUU MK periode 2013–2018, yaitu dipatuhi seluruhnya, dipatuhi sebagian dan tidak dipatuhi, mayoritas putusan PUU MK dipatuhi seluruhnya, sebanyak 59 putusan atau sebesar 54,12%, putusan yang tidak dipatuhi seluruhnya atau hanya dipatuhi sebagian sebanyak 6 putusan atau sebesar 5,50%, Putusan yang tidak dipatuhi itu berjumlah 24 putusan atau sebesar 22,01%, tingkat kepatuhan atas putusan PUU MK periode 2013–2018 masih lebih tinggi dari pada tingkat ketidakpatuhannya dengan perbandingan 54,12% berbanding 22,01%.

B. Saran

Ada 3 (tiga) elemen kesepakatan yang harus ada yaitu, yang pertama kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the geberal goals of society or general acceptance of the same philosophy of government), kedua kesepakatan tentang rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government), yang ketiga kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan

Penulis: Febriyani Cahyani Purnomo, Reyabror Zufaru, Faiza Kurnia, Dandi Dwie Lisadi

--

--

FKPH FH UII
FKPH FH UII

Written by FKPH FH UII

Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII | BERBAKTI DENGAN JASA DAN KARYA 🗓️

No responses yet