Membatasi Suara Publik: Konsekuensi dan Ancaman Revisi Undang-Undang Penyiaran Terhadap Kebebasan Pers

FKPH FH UII
8 min readAug 9, 2024

--

Abstrak

Penyusunan Rancangan Perubahan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) memerlukan beberapa pertimbangan, dikarenakan adanya perkembangan teknologi dan kondisi sosial yang terus berubah. Revisi bertujuan untuk mengatasi tantangan baru dalam industri penyiaran. Draft RUU Penyiaran 2024 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memuat beberapa poin yang kontroversial dan melibatkan kebebasan pers dan produk jurnalisme di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum, dan pendapat para ilmuwan hukum (bersifat doktrinal) terkait dengan Revisi UU Penyiaran. Kesimpulan yang ditemukan yakni dalam kebebasan pers, intervensi negara mengacu pada tindakan atau kebijakan pemerintah dalam mengontrol media massa. Implementasi kebebasan berpendapat sering tidak mencapai standar yang diidealkan oleh hukum. Pengesahan RUU berpotensi membatasi kebebasan pers khususnya jurnalistik dalam menyampaikan informasi kepada publik. Seharusnya kebebasan pers dapat dijamin dan dilindungi oleh negara dan pemerintah.

Kata kunci: “RUU Penyiaran, Jurnalisme, kebebasan Pers”

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan suatu regulasi yang disusun untuk mengatur sektor penyiaran di Indonesia. Penyusunan Undang-Undang ini didasari oleh perlunya pemutakhiran peraturan dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi dan kondisi sosial yang terus berubah. Undang-Undang Penyiaran bertujuan untuk mengatasi tantangan baru dalam industri penyiaran, seperti transisi dari televisi analog ke digital, meningkatnya penggunaan internet dan platform streaming, serta kebutuhan untuk melindungi kepentingan publik dan keragaman konten.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, terdapat beberapa persoalan dalam RUU Penyiaran yang diyakini akan menyasar pembatasan terhadap kebebasan pers. Pers merupakan pilar keempat demokrasi bersama dengan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Berbeda dengan ketiga lembaga lainnya yang bergerak di bidang politik formal, pers mempunyai peran penting dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat.

Salah satu pasal yang dianggap kontroversial terdapat pada Pasal 50B ayat (2) huruf (c) Rancangan Undang-undang Penyiaran (per 27 Maret 2024) “penayangan eksklusif jurnalistik investigasi”, huruf (d) “penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat” dan huruf (i) “penayangan rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran”. Padahal, keberadaan media berita sangat berperan penting dalam menyebarkan informasi yang erat kaitannya dengan hak warga negara untuk memperoleh berbagai informasi. Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam.

Pasal 28A huruf q Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran juga dianggap memuat ketentuan yang membuat Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers saling tumpang tindih. Kewenangan tersebut berkaitan dengan penyelesaian sengketa jurnalistik dimana dalam Pasal 28A huruf q RUU Penyiaran terindikasi bertentangan dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Persoalan lainnya adalah RUU Penyiaran juga membatasi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengatur tata kelola penyiaran. Misalnya, terdapat kewajiban bagi KPI untuk berkonsultasi dengan DPR terkait hal penyiaran, sehingga ketentuan ini dianggap mengintervensi independensi KPI.

Pasal lain yang dianggap kontroversial adalah Pasal 50 B ayat (2) RUU Penyiaran yang melarang distribusi konten berita melalui media penyiaran, termasuk penyiaran eksklusif untuk laporan investigasi. Pasal ini melarang konten yang berisi berita palsu, pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, penodaan agama, kekerasan, dan terorisme-radikalisme. Pasal 50 B ayat (2) RUU Penyiaran, dianggap bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) huruf q Undang-Undang Pers tahun 1999, yang menyatakan bahwa tidak ada lagi ruang untuk penyensoran, pembredelan atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk pemberitaan investigatif.

RUU Penyiaran harus diperhatikan karena akan memberikan dampak negatif bagi kebebasan pers. Kebebasan pers mendorong terwujudnya kedewasaan demokrasi dan berpolitik, sehingga diperlukan suatu regulasi hukum yang memberikan ruang dan jaminan bagi kebebasan pers. Revisi ini dianggap memudarkan demokrasi karena selain mengancam pers juga menutup hak publik untuk mendapat informasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Forum Kajian dan Penulisan Hukum bermaksud membuat suatu kajian hukum dengan judul “Membatasi Suara Publik: Konsekuensi dan Ancaman Revisi Undang-Undang Penyiaran Terhadap Kebebasan Pers.” Kajian ini diharapkan dapat menjadi ruang bagi civitas akademika FH UII untuk mengkaji lebih dalam tentang RUU Penyiaran yang deras akan hujan kritik oleh publik. Kajian ini akan terfokus pada pembahasan pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang dianggap bermasalah serta bagaimana konsekuensi dan ancaman pasal tersebut terhadap kebebasan pers.

B. Rumusan Masalah

  1. Apakah substansi RUU Penyiaran dapat membatasi kebebasan pers?
  2. 2. Apakah RUU Penyiaran cenderung memuat intervensi negara terhadap kebebasan pers?

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah yuridis normatif, dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum, dan pendapat para ilmuwan hukum (bersifat doktrinal) yang terkait dengan Revisi UU Penyiaran. Dalam hal memperoleh bahan-bahan hukum yang akan digunakan, penulis menggunakan teknik pengumpulan studi literatur. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berfokus pada: (a) bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran; dan (b) bahan hukum sekunder, berupa buku referensi dan jurnal yang berkaitan dengan Revisi Undang-Undang penyiaran dari berbagai sumber.

D. Pembahasan

1. Substansi RUU Penyiaran yang dapat Membatasi Kebebasan Pers

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui secara universal. Dalam konstitusi di Indonesia, kebebasan berpendapat juga ditegaskan dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak yang mutlak untuk menyampaikan pendapat tanpa intervensi dari pihak manapun. Penting. untuk. diingat. bahwa. kebebasan. berpendapat. juga membutuhkan keseimbangan dengan nilai-nilai lain yang perlu dijunjung tinggi dalam masyarakat, seperti halnya nilai keadilan, nilai ketertiban, dan nilai. keamanan. Oleh. karena. itu, meskipun. hak. atas. kebebasan berpendapat dijamin, pembatasan-pembatasan perlu diterapkan dalam keadaan tertentu yang sesuai dengan hukum, seperti untuk menjaga ketertiban umum atau melindungi hak-hak dan reputasi orang lain.

Dalam realitanya implementasi kebebasan berpendapat sering kali tidak mencapai standar yang diidealkan oleh hukum. Pasalnya, banyak terjadi kasus pelanggaran hak-hak yang dapat kita temukan. Misalnya, penangkapan aktivis atau jurnalis yang menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah, dan adanya sensor pembatasan media massa. Undang-undang yang seharusnya melindungi kebebasan berpendapat seringkali dieksploitasi secara sempit untuk menekan suara-suara oposisi. RUU Penyiaran merupakan sebuah regulasi yang disiapkan pemerintah untuk mengatur aktivitas penyiaran di Indonesia. Akan tetapi, beberapa ketentuan di dalamnya banyak menuai kontroversi dalam kehidupan bermasyarakat.

DPR melanjutkan pembahasan terhadap revisi RUU penyiaran. Persoalannya adalah dalam RUU Penyiaran ikut menyasar pada kebebasan pers. Pengesahan RUU ini berpotensi akan membatasi kebebasan pers khususnya jurnalistik dalam menyampaikan informasi kepada publik. Seharusnya kebebasan pers dapat dijamin dan dilindungi oleh negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk tidak membatasi hak ini kecuali dalam keadaan yang benar-benar diperlukan untuk menjaga kepentingan publik.

Menurut World Press Freedom Index kebebasan pers di Indonesia dinilai berada pada difficult situation. Indonesia menduduki 111 dari 180 peringkat di tahun 2024. Hal ini yang menjadi urgensi pembatasan kebebasan terhadap pers. Setidaknya ada dua hal yang perlu disoroti dalam hal ini yakni adanya tumpang tindih kewenangan KPI dan dewan pers serta adanya ancaman kebebasan pers seperti dihilangkannya jurnalistik investigasi.

Revisi UU penyiaran ini melarang adanya jurnalisme investigasi. Padahal, merekalah yang berjasa dalam penyelidikan mendalam dan pelaporan faktual tentang isu-isu penting yang sering kali tidak diberitakan di publik. Seperti halnya mengungkap kejahatan terhadap kepentingan publik dengan mendudukan aktor yang terlibat dengan didukung bukti yang kuat. Hal tersebut dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan publik dan publik dapat memahami duduk permasalahan serta dapat menilai serta mengambil keputusan. Tidak hanya melarang jurnalisme investigasi,RUU Penyiaran ini juga melarang tentang isi siaran dan konten berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik serta penyelesaian sengketa jurnalistik khusus oleh KPI.

2. Intervensi Negara dalam Konteks Kebebasan Pers

Intervensi negara dalam konteks kebebasan pers mengacu pada tindakan atau kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan media massa. Pembatasan kebebasan pers yang diusulkan dalam RUU Penyiaran dapat menimbulkan berbagai dampak yang signifikan terhadap masyarakat dan demokrasi secara keseluruhan. Pers sebagai pilar penting dalam demokrasi yang berperan mengawasi pemerintah dan lembaga lainnya. Pembatasan kebebasan pers dapat mengurangi transparansi dan akuntabilitas yang pada hakikatnya dapat melemahkan sistem demokrasi di Indonesia. Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan pers yang bebas untuk menginformasikan publik dan memungkinkan perdebatan terbuka. Revisi UU Penyiaran yang cenderung memuat intervensi negara terhadap kebebasan pers dapat melemahkan demokrasi.

Kebebasan berekspresi dan kebebasan pers merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Pembatasan terhadap pers dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM karena menghambat kemampuan individu untuk menerima dan menyebarkan informasi. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28 F UUD 1945 yang menjamin kebebasan informasi dan pers “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Merujuk Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers dan menyatakan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Media massa yang diintervensi oleh negara akan membungkam suara kritis dan enggan memberitahukan informasi yang kritis terhadap pemerintah, sehingga publik tidak mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat. Pembatasan ini dapat menimbulkan ketakutan dan tekanan pada jurnalis dan media. Mereka menjadi lebih enggan untuk melaporkan berita yang kritis terhadap pemerintah atau pihak-pihak berkuasa yang pada akhirnya dapat mengurangi kualitas dan integritas jurnalisme. Kepercayaan publik terhadap media dan pemerintah dapat menurun. Masyarakat merasa bahwa informasi yang mereka terima telah dikendalikan atau disensor dimana hal tersebut mengakibatkan rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi.

E. Kesimpulan

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu HAM. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945 juga menyatakan kebebasan berpendapat sebagai salah satu bagian dari konstitusi negara Indonesia. Namun, pengimplementasian kebebasan berpendapat kerap mendapat pembatasan hingga ancaman terhadap pihak oposisi. Pemerintah menyiapkan peraturan mengenai penyiaran di Indonesia melalui RUU Penyiaran. Permasalahannya adalah RUU Penyiaran berpotensi dapat membatasi kebebasan pers, terutama kebebasan jurnalistik untuk menyampaikan informasi kepada publik.

Dalam konteks kebebasan pers, intervensi negara mengacu pada tindakan atau kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk memengaruhi atau mengontrol media massa. RUU Penyiaran yang mengusulkan pembatasan kebebasan pers dapat berdampak besar pada masyarakat dan demokrasi. Pada hakikatnya, pers menjadi bagian penting dalam demokrasi, akan tetapi kebebasan pers dapat melemahkan demokrasi di Indonesia karena mengurangi transparansi dan akuntabilitas. Demokrasi yang efektif membutuhkan pers yang terbuka untuk untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara faktual.

F. Saran

Berdasarkan pemaparan beserta kesimpulan yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa saran mengenai RUU Penyiaran terhadap kebebasan pers di Indonesia:

  1. Dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diperlukan keseimbangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat, seperti nilai keadilan, nilai ketertiban, nilai keamanan, dan kebebasan berekspresi menjadi penting untuk diperhatikan karena hal tersebut melekat pada setiap individu;
  2. RUU ini seharusnya dapat ditinjau kembali untuk mengedepankan kebebasan pers yang harus dilindungi secara yuridis dalam peraturan berbentuk undang-undang, sehingga dalam revisi UU Penyiaran dinilai sangat penting dalam memberikan payung hukum bagi wartawan dan masyarakat Indonesia;
  3. Melalui revisi UU Penyiaran diperlukan penguatan kebebasan pers dengan menghapus pasal-pasal yang berpotensi membatasi akses dan partisipasi media. Harus dipastikan juga regulasinya tidak membatasi. keragaman pandangan dan konten;
  4. Melalui revisi UU Penyiaran diperlukan penguatan lembaga yang berwenang yaitu Komisi penyiaran Indonesia (KPI) agar lebih independen dari penguatan lembaga KPI supaya tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan, dengan memastikan bahwa KPI memiliki wewenang untuk mengawasi dan menegakkan standar penyiaran.

G. Daftar Pustaka

“Mengapa draf revisi UU Penyiaran dinilai bakal memberangus kebebasan pers?”, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cg3lvw8yy84o diakses tanggal 14 Juli 2024

“Revisi UU Penyiaran Berpotensi Timbulkan Multi Tafsir Hingga Halangi Kebebasan Pers terdapat dalam Revisi UU Penyiaran Berpotensi Timbulkan Multi Tafsir Hingga Halangi Kebebasan Pers”, Revisi UU Penyiaran Berpotensi Timbulkan Multi Tafsir Hingga Halangi Kebebasan Pers (hukumonline.com) diakses tanggal 23 Juni 2024

“Mengapa Publik Ramai-ramai Menolak RUU Penyiaran?”, https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/05/27/mengapa-penolakan-terhadap-ruu-penyiaran-meluas-apa-saja-sisi-kontroversi-ruu-ini diakses tanggal 23 Juni 2024

“Indeks Kebebasan Pers di Indonesia Masih Payah”, https://koran.tempo.co/read/media/481833/kebebasan-pers-di-indonesia-mencemaskan diakses pada tanggal 21 Juli 2024

Dibuat oleh: Ardhani Suryandaru Putra, Alanis Shakespeare Von Jessycho, Lutfiyah Azmii

--

--

FKPH FH UII
FKPH FH UII

Written by FKPH FH UII

Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII | BERBAKTI DENGAN JASA DAN KARYA 🗓️

No responses yet