Mencegah Kekerasan Seksual : “Peran Satgas PPKS dalam Membangun Lingkungan Kampus yang Aman”

FKPH FH UII
4 min readFeb 26, 2024

--

Policy Brief

Pendahuluan

Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi momentum bagi negara dalam menangani banyaknya kasus tindak pidana kekerasan seksual yang marak terjadi. Selain itu, diundangkannya UU TPKS ini menjadi salah satu bentuk nyata bahwa negara hadir bagi para korban kekerasan seksual dalam menangani, melindungi, memulihkan korban, serta mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual.

Kekerasan seksual dapat terjadi di manapun, tak terkecuali dalam lingkup pendidikan. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, perguruan tinggi menjadi penyumbang angka terbanyak kasus kekerasan seksual di antara berbagai jenjang pendidikan pada tahun 2015–2021. Dari total 67 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan, 35 diantaranya terjadi di perguruan tinggi. Merespon hal tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud ristek) mendorong perguruan tinggi di Indonesia untuk membentuk Satuan Tugas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) melalui Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Satgas PPKS hadir sebagai solusi di tengah menjamurnya kasus kekerasan seksual yang menerpa lingkup pendidikan. Upaya pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi menjadi gerakan bersama untuk mewujudkan lingkungan kampus yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual. Dengan demikian, peran kampus sangatlah diperlukan untuk membasmi maraknya kasus tersebut

Analisis

Berdasarkan hasil dari diskusi aktual tersebut, Departemen Kajian dan Diskusi FKPH Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia mendapat empat poin penting, sebagai berikut :

  1. Belum Adanya Tindakan Lanjutan Terhadap Pelaporan Yang Diterima Satuan Tugas Penanganan dan Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) memiliki peran penting dalam menerima laporan dan menangani kasus kekerasan seksual yang berdampak pada kepercayaan terhadap sistem peradilan dan kepuasan korban setelah melaporkan ke satgas PPKS. Pentingnya kepercayaan mahasiswa terhadap sistem penanganan dan pencegahan satgas PPKS agar korban merasa aman dan dihargai dan tidak mengalami hambatan dalam melaporkan tindak pidana kekerasan seksual. Satgas PPKS dalam melakukan tugas seharusnya mengacu pada Permendikbud Pasal 10 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dimana hal tersebut Setiap Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui; pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif dan pemulihan Korban (penjelasan termuat pada Permendikbud pasal 11–16 tentang PPKS) . Oleh karena itu butuhnya proses penanganan yang terstruktur serta dukungan dan pendampingan yang dilakukan secara transparan agar tumbuhnya rasa percaya dan aman terhadap pelaporan.
  2. Pentingnya Kolaborasi antara Satgas PPKS dengan Lembaga Terkait serta Dosen Kurangnya sosialisasi yang merata dan menarik dalam lingkungan kampus menyebabkan ketidaktahuan mahasiswa atas keeksistensian Satgas PPKS. Sosialisasi yang dilakukan Satgas PPKS kedepannya seharusnya dibuat lebih menarik dengan dibantu lembaga- lembaga mahasiswa terkait dan dosen-dosen di seluruh fakultas. Oleh karena itu seharusnya Satgas PPKS tidak menutup kemungkinan untuk melakukan Kolaborasi agar awareness setiap mahasiswa merata terkait pentingnya Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan Seksual.
  3. Rape Culture Vs Consent Culture Consent Culture merupakan budaya di mana pelaku menanyakan persetujuan untuk melakukan sesuatu terhadap pihak lain. Tanpa persetujuan dari pihak lain untuk menerima perlakuan tersebut, maka pelaku tidak akan memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu itu. Jika pelaku tidak meminta izin kepada pihak lain sebelum melakukan suatu tindakan, maka suatu tindakan tersebut dilakukan tanpa consent dari pihak lain, sehingga hal itu adalah kekerasan. Consent tidak boleh didasarkan atas interpretasi semata, utamanya dalam masyarakat dengan ideologi patriarki yang kuat karena bisa sangat subjektif dan bias (tidak sensitif gender). Sementara Rape Culture adalah fenomena di mana pelaku melakukan sesuatu secara paksa dan mengabaikan consent, sehingga bentuknya adalah sebuah serangan. Pihak lain, yakni korban, tidak memiliki daya untuk menolak perlakuan tersebut. Dalam rape culture, serangan / kekerasan tersebut mendapatkan pembenaran dari pihak ketiga (baik itu pemegang kuasa atau masyarakat). Pihak ketiga cenderung melindungi pelaku dan menyalahkan korban.
  4. Peran Civitas Akademika di Lingkungan Kampus Setiap warga di dalam ruang lingkup kampus, baik mahasiswa maupun mahasiswi, tenaga pendidik, dan kependidikan, harus berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Seluruh civitas akademika harus menumbuhkan dan menormalisasikan relasi yang setara antar sesama dan menghapuskan stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual.

Rekomendasi

Berdasarkan pemaparan analisis di atas, kami merekomendasikan : Pertama, kepada Satgas PPKS UII untuk melakukan sosialisasi terhadap mahasiswa terkait kehadiran Satgas PPKS di kampus. Sosialisasi dapat dilakukan melalui kolaborasi antara Satgas PPKS UII dengan LEM UII maupun UKM UII, pemberian ruang bagi dosen untuk melakukan sosialisasi di kelas sebelum waktu pembelajaran berakhir, melalui trend di media sosial, serta melakukan langkah kolaboratif antara kemahasiswaan dengan rektorat; Kedua, kepada Satgas PPKS UII untuk tidak hanya berperan pasif menerima laporan dari korban, namun juga berperan aktif dalam menginvestigasi ada tidaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus UII; Ketiga, kepada Satgas PPKS UII melakukan publikasi dan transparansi kasus minimal pada tahap pemrosesan laporan. Transparansi penting untuk mengukur nilai keberhasilan kinerja Satgas PPKS UII; Keempat, kepada Satgas PPKS UII untuk berperan aktif mencari bukti terkait laporan kasus kekerasan seksual agar tidak terjadi kesalahan dalam penyelesaian kasus.

Penyusun: Ikhsan Muhammad Taha, Najwa Amelia Mumtaz, Rionaldo

--

--

FKPH FH UII
FKPH FH UII

Written by FKPH FH UII

Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII | BERBAKTI DENGAN JASA DAN KARYA 🗓️

No responses yet