Menelisik Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Yang Anulir Terhadap Vonis Mati Ferdy Sambo

FKPH FH UII
9 min readFeb 26, 2024

--

Penulis: M. David Hanief, Rionaldo, Nabila Sya’baniah, Najwa Amelia Mumtaz, Ikhsan Muhammad Thaha

Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash

ABSTRAK

Sejak awal kemunculannya, kasus ferdy sambo telah menjadi berita hangat yang menyita perhatian masyarakat khususnya para akademisi dan praktisi hukum. Berbagai media terus memberitakan kasus ini hingga puncaknya ketika Mahkamah Agung membacakan putusan di tingkat kasasi mengenai kasus tersebut. Dalam putusannya, hakim Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi yakni penuntut umum dan terdakwa. Akan tetapi, hakim melakukan koreksi terhadap kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan. Hal ini menyebabkan Pidana Mati yang telah dijatuhkan Judex Facti kepada Terdakwa dikoreksi menjadi pidana penjara seumur hidup. Pengurangan pidana yang diberikan melalui putusan yang dikeluarkan oleh hakim Mahkamah Agung menyebabkan kasus ini kembali hangat untuk diperbincangkan. Salah satunya mengenai pertimbangan yang digunakan hakim dalam membuat putusan tingkat kasasi yang tentunya harus menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan ditengah masyarakat. Tulisan ini akan menjadi hidangan pembuka bagi para pembaca yang telah menanti sejak lama Final Chapter dari kasus Ferdy Sambo.

Kata kunci: Ferdy Sambo, Mahkamah Agung

1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan kepada Mahkamah Agung untuk mengadili perkara pada tingkat kasasi.1 Hal ini bermakna bahwa hakim yang bertugas akan menjadi penentu terakhir bagi Nasib seseorang yang ingin melakukan upaya hukum. Permohonan kasasi adalah upaya hukum yang diajukan kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan pengadilan tingkat banding atau putusan tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.2 Ketentuan mengenai kasasi tersebut diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 5 Tahun 2004, dimana kasasi merupakan salah satu dari fungsi peradilan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dalam upayanya untuk membina keseragaman hukum agar hukum dan undang-undang yang diterapkan di Indonesia diterapkan dengana adil, bermanfaat, dan memberikan kepastian.

Persidangan kasus pembunuhan Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghasilkan keputusan berupa vonis hukuman mati bagi Ferdy Sambo. Tersangka dijerat dengan pasal 34 jo. Pasal 55 dan 56 KUHP dan Pasal 49 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Tak terima dengan putusan tersebut, Sambo mengambil langkah hukum selanjutnya yaitu mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, upaya banding tersebut ditolak tegas oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Tak berhenti di situ, Ferdy Sambo beserta ketiga terdakwa lainnya mengajukan kasasi terhadap putusan banding PT DKI Jakarta.

Pada 21 Juni 2023, lima Mahkamah Agung (MA) telah menerima dan menelaah kelengkapan berkas kasasi Ferdy Sambo atas Vonis Banding Hukuman mati dalam Kasus Pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua Hutabarat yang ditangani oleh 5 Hakim Mahkamah Agung antara lain Suhadi, Suharto, Jupriyadi dan Yohanes Priyana.

MA mengabulkan permohonan Kasasi Ferdy Sambo pada 8 Agustus 2023 dengan menganulir hukuman mati menjadi penjara seumur hidup, Sementara Putri Candrawathi yang sebelumnya divonis 20 tahun penjara disunat masa hukumannya menjadi 10 Tahun penjara dan hukuman terhadap Ricky Rizal serta Kuat Ma’ruf dipotong masing-masing 5 Tahun Penjara.

Berdasarkan uraian diatas, Forum Kajian dan Penulisan Hukum telah melakukan kajian secara mendalam bersama bapak Ari Wibowo, S.HI., S.H, M.H. selaku Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada kajian tanggal 30 Agustus 2023 lalu. Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi selayang pandang bagi para pembaca mengenai Putusan Kasasi dengan terdakwa Ferdy Sambo yang diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada tanggal 8 Agustus 2023. Selain itu, hasil kajian ini bertujuan menjadi pemantik penelitian-penelitian berikutnya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, tim penulis menyusun dua rumusan masalah, yaitu:

  1. Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengambil putusan terhadap Ferdy Sambo di tingkat kasasi?
  2. Apakah putusan kasasi tersebut telah mencerminkan kepastian hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat?

3. Metode Penelitian

Dalam hal menjawab rumusan masalah yang telah dijabarkan diatas, tim penulis wajib memilih metode yang akan digunakan dalam penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.3 Adapun metode penelitian yang dipilih adalah yuridis normatif yang bermakna bahwa penulis akan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum serta pendapat para ilmuwan hukum (bersifat doktrinal) yang memiliki kaitan dengan objek penelitian. Dalam hal memperoleh bahan hukum yang akan digunakan, tim penulis menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan yang kemudian akan diolah secara deskriptif kualitatif. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang digunakan, seperti data yang diperoleh dan atau dikumpulkan oleh peneliti yang melakukan penelitian dari berbagai sumber yang telah ada sebelumnya serta informasi yang disampaikan pak Ari pada kajian kemarin

4. Pembahasan

1) Pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengambil putusan terhadap Ferdy Sambo di tingkat kasasi

Upaya hukum yang diambil oleh Ferdy Sambo telah melewati beberapa babak. Setelah upaya bandingnya ditolak oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, kini Sambo memulai babak baru yaitu mengajukan permohonan kasasi pada Mahkamah Agung (MA).

Sebelumnya pada putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, majelis hakim mengeluarkan putusan yang didasarkan pada prinsip ultra petita yaitu penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara dimana putusan tersebut melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum.4 Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan pidana mati bagi Sambo di mana pidana tersebut lebih berat dibanding tuntutan Penuntut Umum yaitu pidana penjara seumur hidup. Dalam memutus perkara tersebut, hakim banyak menggunakan kesaksian Bharada Richard Eliezer (RE) dimana Bharada RE mengajukan diri menjadi justice collaborator pada saat itu.

Pihak Sambo mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebagai upaya lain, tetapi permohonan banding tersebut langsung ditolak oleh PT DKI Jakarta. Majelis hakim justru memperkuat vonis terdakwa dalam sidangnya yang dipimpin oleh Hakim Ketua Singgih Budi Prakoso sehingga upaya kasasi menjadi upaya terakhir yang digunakan Sambo untuk menanggalkan hukuman pidana matinya.

2) Kepastian hukum dan rasa keadilan dalam Putusan Mahkamah Agung terhadap Ferdy Sambo

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyebut tidak ada hal yang meringankan hukuman Ferdy Sambo yang dijatuhkan pidana mati. Dalam amar putusannya majelis hakim menjelaskan hal-hal yang memperberat hukuman bagi terdakwa adalah pembunuhan yang dilakukan kepada ajudan sendiri sehingga menyebabkan duka mendalam bagi keluarga korban. Terlebih mengingat ajudan tersebut telah mengabdi selama 3 (tiga) tahun kepada Ferdy Sambo hingga pembunuhan tersebut mengakibatkan kegaduhan di masyarakat. Jabatan Ferdy Sambo sebagai aparat penegak hukum juga dijadikan alasan pemberat dikarenakan mencoreng institusi Polri Indonesia.

Dalam penjatuhan pidana hakim juga mempertimbangkan hal yang bersifat yuridis dan non-yuridis. Alasan yuridis hakim yang memperberat pidana Ferdy Sambo adalah delik concursus atau concursus delicten dengan melibatkan anggota-anggota Polri lainnya dan adanya unsur perencanaan dalam pembunuhan tersebut. Namun majelis hakim dalam menjatuhkan pidana mati dominan menggunakan alasan non-yuridis sebagaimana dijelaskan dalam paragraf pertama.

Setelah diajukannya kasasi, Ferdy Sambo mendapat keringanan hukum oleh majelis kasasi di Mahkamah Agung dari yang awalnya divonis pidana mati menjadi pidana seumur hidup. Hakim Mahkamah Agung mengoreksi pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penjatuhan pidana. Pertimbangan pertama Mahkamah Agung menggunakan tafsir futuristik, yaitu metode penafsiran dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang akan berlaku dimasa mendatang dan dalam hal ini artinya menggunakan Undang-Undang №1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional. Dalam KUHP baru tersebut menjelaskan bahwasanya pidana mati tidak ditempatkan sebagai pidana pokok, namun sebagai pidana khusus dan sebagai alternatif terakhir karena dikenal adanya pidana mati dengan percobaan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Terlihat adanya pergeseran politik hukum pemidanaan dari retributif (ex stationis) menjadi rehabilitatif.

Pemidanaan saat ini mengedepankan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, pemasyarakatan/rehabilitasi, penyelesaian konflik/pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai serta penumbuhan penyesalan terpidana. Adanya keseimbangan pertimbangan keadilan bagi masyarakat (publik) dan pelaku (konsep keseimbangan monistik). Dalam hal ini Hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan berdasarkan KUHP baru tersebut bahwa pidana mati digunakan dalam keadaan yang sangat diperlukan dimana pelaku sudah tidak mungkin diperbaiki.

Pertimbangan majelis kasasi yang kedua adalah terkait alasan atau motif dilakukannya tindak pidana pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo adalah diakibatkan kekecewaan Ferdy Sambo atas perbuatan yang dilakukan Brigadir J kepada istrinya Putri Candrawathi di Magelang. Makim menyebut bahwa alasan dilakukannya suatu tindak pidana oleh terdakwa tetap dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana yang adil. Hakim menambahkan, maka demi asas kepastian hukum yang berkeadilan serta proporsionalitas dalam pemidanaan, terhadap pidana mati yang telah dijatuhkan judex facti kepada terdakwa perlu diperbaiki menjadi pidana penjara seumur hidup.6

Pertimbangan ketiga atas putusan kasasi tersebut adalah mengingat posisi Ferdy Sambo yang telah mengabdi selama 30 (tiga puluh) tahun sebagai anggota Polri dan jabatan terakhirnya adalah sebagai mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam). Hal tersebut dianggap sebagian hakim kasiasi sebagai hal yang memperingan hukuman Ferdy Sambo sehingga seyogyanya perlu diberi penghargaan.

Dua hakim kasasi yaitu Jupriyadi dan Desnayeti menyatakan dissenting opinion atas pertimbangan-pertimbangan tersebut sebagai alasan untuk meringankan hukuman Ferdi Sambo. Hakim Jupriyadi berpendapat penembakan yang dilakukan Ferdi Sambo tidak dapat dibenarkan oleh hukum sebab Ferdy Sambo merupakan aparat penegak hukum yang menduduki jabatan tinggi di institusi Polri. Hakim Denayeti pun menilai sebagai aparat penegak hukum, Ferdy Sambo tidak seharusnya menerima begitu saja laporan dari istrinya atas peristiwa di Magelang tersebut, ditambah setelah Bharada E melepaskan tembakan kepada Brigadir J, Ferdy Sambo ikut menembakkan pistol yang dapat diindikasikan bahwa Ferdy Sambo memang menginginkan kematian Brigadir J sehingga menurut Desnayati Ferdi Sambo patut untuk dijatuhkan hukuman pidana mati.

Dari ketiga pertimbangan-pertimbangan hakim kasasi terhadap putusannya, terlihat pada pertimbangan pertama, hakim menggunakan pertimbangan yuridis yaitu berdasar pada tafsir futuristik atas KUHP baru yang mengedepankan proporsionalitas dalam pemidanaan dan keseimbangan monistik. Pada pertimbangan kedua hakim menggunakan pertimbangan non-yuridis karena motif Ferdy Sambo terhadap perbuatannya tidak dapat dikesampingkan, dan yang terakhir pada pertimbangan ketiga hakim menggunakan pertimbangan yuridis berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”, pasal tersebut dikaitkan mengingat Ferdy Sambo yang telah mengabdi menjadi sebagai anggota Polri selama hampir 30 (tiga puluh) tahun.

5. Kesimpulan

Sebelumnya pada putusan majelis hakim yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili PN Jakarta Selatan, majelis hakim mengeluarkan putusan yang hukumannya melebihi dari tuntutuan dan dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum (Ultra Petita). Setelahnya pihak Sambo melakukan upaya lain berupa banding, namun permintaannya langsung ditolak, sehingga upaya kasasi menjadi upaya terakhir yang digunakan Sambo untuk menanggalkan hukuman pidana matinya.

Dari uraian terhadap persoalan yang telah dikaji sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Hakim Mahkamah Agung terhadap putusan kasasinya mempertimbangkan 3 (tiga) alasan pokok menggunakan pertimbangan yuridis dan non-yuridis yaitu, menggunakan tafsir futuristik dengan dasar KUHP baru, motif dari dilakukannya tindak pidana oleh Ferdy Sambo, dan pengabdian sebagai aparat penegak hukum selama 30 (tiga puluh) tahun. Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang menjadi dasar dari diberikannya keringanan hukum untuk Ferdy Sambo dari yang awalnya pidana mati dianulir menjadi pidana seumur hidup.

6. Saran

Berdasarkan pemaparan materi yang telah disampaikan diatas, terdapat beberapa saran mengenai Putusan Kasasi dengan terdakwa Ferdy Sambo, yakni:

  1. Putusan kasasi oleh Mahkamah Agung yang didasarkan oleh beberapa pertimbangan yang telah dijelaskan pada pembahasan nomor 2 (dua) tidak mengangkat unsur-unsur dalam Pasal 340 KUHP. Berdasarkan pasal tersebut motif dari pembunuhan berencana esensinya memang bukan unsur inti dan tidak perlu dibuktikan, namun dalam menjatuhkan pidana mati atas pembunuhan berencana motifnya harus dapat dibuktikan. Seharusnya dalam mengoreksi pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim bisa memberikan pendapat bahwasanya penjatuhan hukuman mati kepada Ferdy Sambo tidak dapat diterapkan selama motif dari perbuatannya tidak dapat dibuktikan, sehingga dalam pertimbangan putusan kasasi dapat lebih mencerminkan kepastian hukum yang berlaku saat ini, akan tetapi pertimbangan tersebut tidak dibawa oleh hakim dalam amar putusannya. Meski pertimbangan hakim yang menggunakan tafsir futuristik berdasarkan Undang-Undang №1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, tujuan pemidanaan masih berada pada ruang lingkup keadilan baik untuk masyarakat dan pelaku. Dengan tidak membawa pertimbangan berdasarkan unsur pasal 340 KUHP dapat menimbulkan sikap skeptis dan ketidakpercayaan masyarakat atas penegakan hukum karena dianggap putusan tersebut belum mencerminkan kepastian hukum.

— — — —

Dikelola oleh Departemen Jaringan dan Informasi FKPH LEM FH UII

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang dengan Basis Teknologi Informasi.

Buku

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2021). Guide Book OJK: Group Inovasi Keuangan OJK Per Desember 2021. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Jurnal

K. Sitanggang, R. Naibaho, U. Utomo. (2020). “Tinjauan Yuridis Regulatory Sandbox Terhadap Mekanisme Teknologi Finansial (Fintech) Di Indonesia”. Jurnal Hukum PATIK. Volume 9, №2.

Buku

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2021). Guide Book OJK: Group Inovasi Keuangan OJK Per Desember 2021. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Jurnal

K. Sitanggang, R. Naibaho, U. Utomo. (2020). “Tinjauan Yuridis Regulatory Sandbox Terhadap Mekanisme Teknologi Finansial (Fintech) Di Indonesia”. Jurnal Hukum PATIK. Volume 9, №2.

--

--

FKPH FH UII
FKPH FH UII

Written by FKPH FH UII

Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII | BERBAKTI DENGAN JASA DAN KARYA 🗓️

No responses yet