Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Serentak 2024

FKPH FH UII
4 min readJan 11, 2025

--

Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga tinggi negara memiliki kewenangan yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24C ayat (1) dan (2). Pasal ini menjelaskan tugas dan fungsi MK dalam sistem ketatanegaraan, seperti menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Namun, dalam perjalanan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan MK mengalami perluasan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022. Salah satu isu yang menarik adalah keterlibatan MK dalam memutus perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini menimbulkan diskursus karena tidak terdapat satu pun ketentuan dalam UUD 1945 yang secara eksplisit memberikan MK wewenang untuk menangani sengketa hasil Pilkada.

Kewenangan untuk memutus hasil perselisihan pada awalnya berada di bawah Mahkamah Agung (MA) kemudian dialihkan kepada MK melalui putusan MK Nomor 072–073/PUU-II/2004. Namun, Pada tahun 2013 dinyatakan bahwa MK tidak memiliki kewenangan dalam memutus perselisihan hasil sengketa pilkada yang tertuang di dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013. Pasal 22E UUD 1945 dinyatakan Inkonstitusional dengan adanya perluasan makna pemilihan umum dengan masuknya rezim Pilkada ke dalam Pemilu. Kesanggupan MK dalam menangani sengketa hasil Pilkada serentak 2024 menjadi hal yang perlu dikaji secara mendalam. Penyelenggaraan Pilkada serentak yang melibatkan banyak daerah memunculkan potensi sengketa yang membutuhkan penanganan cepat, tepat, dan adil oleh MK. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai kapasitas dan mekanisme MK dalam menyelesaikan sengketa ini, termasuk tantangan yang dihadapi serta upaya yang dilakukan untuk menjaga integritas proses hukum dan demokrasi.

Analisis

Berdasarkan hasil dari diskusi tersebut, terdapat beberapa poin penting antara lain sebagai berikut.

Timbulnya diskursus akibat tidak adanya aturan yang secara eksplisit memberikan wewenang kepada MK untuk menangani sengketa hasil Pilkada.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 merupakan langkah penting dalam memperkuat peran MK dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam konteks pemilihan umum dan pilkada. Dengan menetapkan kewenangan permanen untuk menangani sengketa hasil Pilkada, MK menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Akan tetapi keputusan tersebut menuai beberapa pertanyaan kritis mengenai legitimasi dan batasan kekuasaan MK. Dalam konteks UUD 1945 yang tidak secara eksplisit memberikan wewenang tersebut kepada MK, keputusan ini dapat dianggap sebagai langkah yang berani namun kontroversial. Hal ini mengharuskan adanya pengawasan yang ketat terhadap keputusan-keputusan MK agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.

2. Belum terealisasikannya pembentukan Badan Peradilan Khusus

Mahkamah Konstitusi memiliki peranan yang sangat penting dalam demokratisasi di Indonesia sebagai pengawal demokrasi khususnya dalam constitutional review. MK meletakkan Pilkada pada satu kesatuan dengan Pemilu sebagaimana tertuang dalam Putusan No. 72–73/PUU-II/2004. Oleh karena itu, dengan tidak berwenangnya MK dalam memutus perselisihan hasil tentang Pilkada, MK memerintahkan untuk membentuk lembaga khusus untuk memutus perselisihan hasil tentang Pilkada tersebut. MK memerintahkan agar dibentuk badan peradilan khusus untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah yang akhirnya regulasi tersebut dicantumkan dalam Pasal 157 (3) UU No. 8/2015 jo UU No. 10/2016 bahwa perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Akan tetapi, hingga saat ini Badan Peradilan Khusus belum dibentuk. Hal tersebut menunjukkan adanya kegagalan dalam implementasi regulasi yang telah ada dan adanya tantangan dinamika politik yang tidak selalu mendukung pembentukan lembaga. MK melihat ketika belum terbentuknya badan peradilan khusus yang dimaksud maka MK lah yang merasa masih mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pilkada.

3. Terdapat permohonan yang diputus oleh MK yang tertuang dalam Putusan Nomor 85/ PUU-XX/2022, yang menjelaskan pada intinya yaitu:

a. MK belum melihat upaya konkret dari pembentuk undang-undang untuk membentuk Badan Peradilan Khusus.

b. MK tidak lagi membedakan perbedaan di mana rezim pemilu dan rezim pilkada;

c. Pemilihan umum yang diadili oleh MK terdiri dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik provinsi, kabupaten, dan kota. Serta memilih kepala daerah provinsi kabupaten, maupun kota;

d. MK tidak mempunyai batasan dalam memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pilkada karena belum terbentukya badan peradilan tersebut, sehingga MK berhak menyelesaikan perselisihan hasil pilkada akan bersifat permanent.

4. Adanya aturan yang bertentangan

Sebagai hasil putusanya, MK menyatakan bahwa frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, MK juga menyatakan bahwa Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD NRI dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Rekomendasi

Berdasarkan pemaparan beberapa poin diatas, kami merekomendasikan:

Sesuai dengan putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 terdapat faktor yang harus benar-benar diperhatikan oleh DPR dan Presiden yaitu belum terbentuknya badan peradilan khusus yang dapat menangani penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Selain itu, perlunya pengkajian yang komprehensif oleh MK terkait perubahan mendasar Pasal 157 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Disusun oleh: Bagus Putra Handika Pradana, Daffa Rifqi Muhammad, & Zahra Alyssa Larasati

--

--

FKPH FH UII
FKPH FH UII

Written by FKPH FH UII

Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII | BERBAKTI DENGAN JASA DAN KARYA 🗓️

No responses yet